“ES-SMILE”
(Ekonomi Syariah-Selalu Memberi Lebih)
Oleh:
Muhamad Bai’ul
Hak
(Ketua BEM Fakultas Ekonomi UNRAM)
Sejarah Ekonomi Islam
(Ekonomi Syariah)
Tidak diragukan lagi
bahwa Nabi Muhammad saw adalah pemikir dan aktivis pertama ekonomi syariah,
bahkan sebelum ia diangkat sebagai Nabi dan Rasul. Pada zamanya telah
dikenal pula transaksi jual beli serta perikatan atau kontrak (al-buyu’ wa al-‘uqu`d). Di samping, sampai bats-batas
tertentu, telah dikenal pula bagaimana mengelola harta kekayaan negara dan hak
rakyat di dalamnya. Berbagai bentuk jual beli dan kontrak termaksud telah
diatur sedemikian rupa dengan cara menyerap tradisi dagang dan perikatan serta
berbagai bentuk kontrak yang telah ada sebelumnya yang mendapat penyesuaian
dengan wahyu, baik Alquran maupun Sunnah.
Pemikiran ekonomi syariah
berusia setua Islam itu sendiri. Sepanjang 14 abad sejarah Islam kita menemukan
studi yang berkelanjutan tentang isu ekonomi dalam pandangan syariah.[1][1] Sebagian besar diskusi
ini hanya terkubur dalam literatur tafsir Al-Qur’an, sarah Hadits, dasar-dasar
hukum Ushul fiqih dan Hukum Fiqih. Belum ada usaha yang dilakukan untuk
mengkaji lebih dalam materi-materi ini dan menyajikannya secara sistematis.
Studi ini dan studi filsafat moral dan histografi mendapatkan perhatian ketika
ilmu sosial yang baru dilahirkan tersebut menjadi kurikulum di Universitas
Negara muslim dan para sarjana mulai menjari warisan Islam di bidang ini.
Beberapa usaha telah
dilakukan akhir-akhir ini untuk mempelajari ilmu ekonomi yang telah diajarkan oleh
Al-Qur’an dan Sunnah. Karena isi kedua sumber ini bersifat ketuhanan, ekonomi
Islam hanya berupa interpretasi manusia itu sendiri yang dalam hal ini
menampakkan ciri khas pemikiran ekonomi dalam Islam. Pengajaran ekonomi di
dalam Al-Qur’an dan Sunnah bersifat universal, tetapi manusia mencoba
menginterpretasikan dan mengaplikasikannya sesuai dengan kepentingan pada waktu
dan tempat usaha-usaha tersebut dilakukan.
Tetapi yang jelas
banyak aktivitas pengaturan ekonomi yang dilakukan selama masa kepemimpinan
Khulafaur Rasyidin dan Dinasti Umayyah yang berhubungan dengan subjek ini
seperti administrasi tanah kharaj.[2][2] Pengumpulan dan
pembayaran zakat, serta cara para penguasa dan penasehat menggunakan Baitul Maal dalam menangani permasalahan
ekonomi pada masa mereka. Satu hal yang dapat ditangkap dengan jelas adalah
bahwa perhatian mereka pada pemenuhan kebutuhan, keadilan, efisiensi,
pertumbuhan, dan kebebasan merupakan objek utama yang menginspirasikan ekonomi
Islam sejak permulaan dulu.
Pengertian Ekonomi Syariah
Ekonomi Islam
didefinisikan sebagai cabang ilmu yang membantu merealisasikan kesejahteraan
manusia melalui alokasi dan distribusi sumber daya yang langka, yang sejalan
dengan ajaran islam, tanpa membatasi kebebasan individu ataupun menciptakan
ketidakseimbangan makro dan ekonomi logis.[3][3]
Ekonomi syariah merupakan ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang dilhami
oleh nilai-nilai Islam. Ekonomi syariah berbeda dari kapitalisme, sosialisme,
maupun negara kesejahteraan (Welfare State). Ekonomi menurut Islam
menentang eksploitasi oleh pemilik modal terhadap buruh yang miskin, dan melarang penumpukan kekayaan. Selain itu, ekonomi dalam
kaca mata Islam merupakan tuntutan kehidupan sekaligus anjuran yang memiliki
dimensi ibadah.
Pandangan Islam
terhadap masalah kekayaan berbeda dengan pandangan Islam terhadap masalah
pemnfaatan kekayaan. Menurut Islam, sarana-sarana yang memberikan kegunaan
(utility) adalah masalah tersendiri, sedangkan perolehan kegunaan (utility)
adalah masalah lain. Karna itu kekayaan dan tenaga manusia, dua-duanya
merupakan, sekaligus sarana yang bisa memberikan kegunaan (utility) atau
manfaat sehingga, kedudukan kedua-duanya dalam pandangan Islam, dari segi
keberadaan dan produsinya dalam kehidupan, berbeda dengan kedudukan pemanfaatan
serta tata cara perolehan manfaatnya.[4][4]
Tujuan Ekonomi Islam
Ekonomi Islam mempunyai tujuan untuk
memberikan keselarasan bagi kehidupan di dunia. Nilai Islam bukan semata-semata
hanya untuk kehidupan muslim saja, tetapi seluruh mahluk hidup di muka bumi.
Esensi proses Ekonomi Islam adalah pemenuhan
kebutuhan manusia yang berlandaskan nilai-nilai Islam guna mencapai pada tujuan
agama (falah). Ekonomi Islam menjadi rahmat seluruh alam, yang tidak terbatas
oleh ekonomi, sosial, budaya dan politik dari bangsa. Ekonomi Islam mampu
menangkap nilai fenomena masyarakat sehingga dalam perjalanannya tanpa
meninggalkan sumber hukum teori ekonomi Islam.
Konsep Ekonomi Syariah
Prinsip-prinsip
Ekonomi Islam itu secara garis besar dapat diuraikan sebagai berikut :
1.
Dalam Ekonomi Islam,
berbagai jenis sumber daya dipandang sebagai pemberian atau titipan Tuhan
kepada manusia. Manusia harus memanfaatkannya seefisien dan seoptimal mungkin
dalam produksi guna memenuhi kesejahteraan secara bersama di dunia yaitu untuk
diri sendiri dan untuk orang lain.
2.
Ekonomi Syariah mengakui kepemilikan
pribadi dalam batas-batas tertentu, termasuk kepemilikan alat produksi dan
faktor produksi. Pertama, kepemilikan individu dibatasi oleh kepentingan
masyarakat, dan Kedua, Ekonomi Syariah menolak setiap pendapatan
yang diperoleh secara tidak sah, apalagi usaha yang menghancurkan masyarakat.
3.
Kekuatan penggerak utama
Ekonomi Syariah adalah kerjasama. Semua unsure dan pelaku dalam Ekonomi Syariah harus
bersinergi untuk menggapai tujuan bersama.
4.
Pemilikan kekayaan pribadi
harus berperan sebagai kapital produktif yang akan meningkatkan besaran produk
nasional dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sistem Ekonomi Syariah menolak terjadinya akumulasi kekayaan yang dikuasai
oleh beberapa orang saja. Konsep ini berlawanan dengan Sistem Ekonomi
Kapitalis, di mana kepemilikan industri didominasi individu atau
sekelompok orang.
5.
Ekonomi Syariah menjamin kepemilikan
masyarakat dan penggunaannya direncanakan untuk kepentingan orang banyak.
Prinsip ini didasari Sunnah Rasulullah yang menyatakan bahwa, “Masyarakat punya
hak yang sama atas air, padang rumput dan api” (Al Hadits)”. Sunnah Rasulullah tersebut menghendaki semua
industri ekstraktif yang ada hubungannya dengan produksi air, bahan tambang,
bahkan bahan makanan harus dikelola oleh negara. Demikian juga berbagai macam
bahan bakar untuk keperluan dalam negeri dan industri tidak boleh dikuasai oleh
individu.
6.
Seorang yang kekayaannya
melebihi tingkat tertentu (Nisab) diwajibkan membayar zakat. Zakat merupakan
alat distribusi sebagian kekayaan orang kaya (sebagai sanksi atas penguasaan
harta tersebut), yang ditujukan untuk orang miskin dan orang-orang yang
membutuhkan. Menurut pendapat para alim-ulama, zakat dikenakan 2,5% (dua
setengah persen) untuk semua kekayaan yang tidak produktif (Idle Assets),
termasuk di dalamnya adalah uang kas, deposito, emas, perak dan permata,
pendapatan bersih dari transaksi (Net Earning from Transaction), dan 10%
(sepuluh persen) dari pendapatan bersih investasi.
7.
Konsep Ekonomi Syariah melarang setiap pembayaran
bunga (Riba) atas berbagai bentuk pinjaman, apakah pinjaman itu berasal dari
teman, perusahaan perorangan, pemerintah ataupun institusi lainnya.
Dengan membaca hukum-hukum syara’ yang menyangkut
masalah ekonomi tersebut, nampaklah bahwa Islam telah memecahkan masalah
bagaimana agar manusia bisa memanfatkan yang ada. Dan inilah yang sesungguhnya,
menurut pandangan Islam, dianggap masalah ekonomi bagi suatu masyarakat.
Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas bagaimana cara
memperoleh kekayaan masalah mengelola kekayaan yang dilakukan oleh manusia,
serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah mereka. Atas
dasar inilah, maka hukum-hukum yang menyangkut masalah ekonomi dibangun di atas
tiga kaidah, yaitu kepemilikan (property),
pengelolaan kepemilikan, dan distribusi kekayaan di tengah-tengah manusia.[5][5]
Konsep Ekonomi Syariah menekankan empat sifat yang
menjadi landasan dasar menjalankan Sistem Ekonomi Syariah, antara lain:
- Kesatuan (unity)
- Keseimbangan (equilibrium)
- Kebebasan (free will)
- Tanggungjawab (responsibility)
Penerapan Ekonomi
Syariah
Perkembangan
sistem finansial syariah yang pesat boleh jadi mendapat tambahan dorongan
sebagai alternatif atas kapitalisme, dengan berlangsungnya krisis perbankan dan
kehancuran pasar kredit saat ini, demikian menurut pendapat para akademisi
Islam dan ulama. Dengan nilai 300 miliar dolar dan pertumbuhan sebesar 15
persen per tahun, sistem ekonomi Islam itu melarang penarikan atau pemberian
bunga yang disebut riba. Sebagai gantinya, sistem finansial syariah menerapkan
pembagian keuntungan dan pemilikan bersama.
Kehancuran
ekonomi global memperlihatkan perlunya dilakukan perombakan radikal dan
struktural dalam sistem finansial global. Sistem yang didasarkan pada prinsip
Islam menawarkan alternatif yang dapat mengurangi berbagai risiko. Bank-bank
Islam tak membeli kredit, tetapi mengelola aset nyata yang memberikan
perlindungan dari berbagai kesulitan yang kini dialami bank-bank Eropa dan AS.
Dalam kehidupan
ekonomi syariah, setiap transaksi perdagangan harus dijauhkan dari unsur-unsur
spekulatif, riba, mengandung penipuan, dan yang sejenisnya. Unsur-unsur
tersebut, sebagian besarnya tergolong aktifitas-aktifitas non real. Sebagian
lainnya mengandung ketidakjelasan pemilikan. Sisanya mengandung kemungkinan
munculnya perselisihan.
Ekonomi
Syariah telah meletakkan transaksi antar dua pihak sebagai sesuatu yang
menguntungkan keduanya; memperoleh manfaat yang real dengan memberikan
kompensasi yang juga bersifat real. Transaksinya bersifat jelas, transparan,
dan bermanfaat. Karena itu, dalam transaksi perdagangan dan keuangan, apapun
bentuknya, aspek-aspek non real dicela dan dicampakkan. Sedangkan sektor real
memperoleh dorongan, perlindungan, dan pujian.
[1][1] Adiwarman
Karim. Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Jakarta: The International Institute of Islamic Thought Indonesia,2002), hlm.3
[3][3]M.
Sholahuddin. Asas-Asas Ekonomi Islam,
(Jakarta: PT. Raja Grafindo,2007), hlm. 5
[4][4]Taqyuddin
An-Nabhani. Membangun Sistem Ekonomi
Alternatif Perpektif Islam, (Surabaya: Risalah Gusti,1996), hlm.50
[5][5]ibid,hlm.61